Halo,
udah lama ya aku tidak mengisi blog ini. Hehe. Akhirnya, setelah lepas dari
kesibukan perkuliahan selama satu semester, dan menuntaskan beban tugas akhir
dari mata kuliah wajib yang menyita waktu liburan, aku bisa meluangkan waktuku
untuk melaksanakan beberapa rencana yang sudah kurancang sejak lama. *Eaaak
Salah
satu dari rencana-rencana itu adalah: membagi-bagi pengalaman dengan cara
menulis di blog. Ya ... hitung-hitung mengaktifkan lagi blogku, setelah sekian
lama dia hiatus. Hiks. Padahal, bikinnya sudah dari kelas 8 SMP, tapi isinya
tidak bertambah, malah berkurang. π
Jadi
... hal pertama yang ingin kubagikan kepada kalian adalah: Bagaimana akhirnya
aku memilih Sastra Indonesia untuk jurusanku di perkuliahan. Yay!π€
Wah,
gimana tuh? Nah, aku mulai ceritanya dari sini, ya...
Dulu,
aku tidak pernah bercita-cita untuk kuliah di sastra, waktu kecil. Ya iyalah,
toh sepertinya jarang juga anak kecil yang tahu apa itu sastra. Biasanya, anak
kecil bercita-cita untuk jadi dokter, tentara, pilot, guru, dan cita-cita mainstream lainnya. Bagaimana denganku?
Aku sendiri, bercita-cita untuk jadi seorang dokter.
Yap,
memang sih, anak-anak di Taman Kanak-Kanak (TK) pastilah banyak yang ingin jadi
dokter. Termasuk aku. Aku dulu sangat beridealis untuk jadi seorang dokter.
Siapa saja yang bertanya padaku aku ingin jadi apa, pasti aku akan menjawab:
“dokter!” Pendirian itu sangat teguh, tidak bisa diubah oleh siapa pun. Aku
tidak tahu kapan tepatnya aku ingin menjadi dokter, namun yang pasti aku ingat
adalah aku punya keinginan itu sejak pertama kali mengenal permainan
dokter-dokteran. Kalian tahu kan, kalau mainan dokter-dokteran itu ada
stetoskop mainan, suntikan mainan, obat-obatan mainan? Bagiku, itu lucu sekali.
L Selain itu, rasanya menarik apabila kita bisa menolong
banyak orang. Sepertinya membahagiakan apabila kita bisa menyembuhkan orang.
Aku juga tidak pernah takut ke dokter sejak kecil, hehe.
Seiring
berjalannya waktu, orang tuaku selalu mengaminkanku untuk menjadi dokter. Sejak
saat itulah, aku selalu belajar yang rajin agar bisa mencapai cita-citaku
tersebut. Alhamdulillah, aku selalu mendapat lima besar saat kelas 2 sampai
kelas 4 SD. Malah, di kelas 2 semester 1, aku mendapatkan juara ke-3. Tapi,
sayang, aku malah turun jadi peringkat 4 di semester kedua.
Selain
belajar, tentunya aku juga punya hobi, dong. Hobiku saat itu adalah membaca
buku. Yap, papaku selalu mengajarkanku untuk membaca dari kecil. Papa selalu
membelikanku buku-buku cerita bergambar dan ensiklopedia. Selain itu, aku juga
gemar membaca majalah Bobo dan senang membaca majalah Mama. (Sebenarnya nggak
tepat sih ya, tapi percaya atau tidak, kalimat pertama yang kubaca adalah judul
resep masakan di majalah Femina) Aku juga gemar menggambar dan mewarnai, meski
gambarku tidak pernah bagus-bagus amat dan mewarnai juga sering keluar garis.
Aku juga senang menyanyi, meski suaraku tidak pernah bagus-bagus amat, sama
seperti gambarku.
Nah,
selain hal-hal di atas, aku juga diajarkan untuk menulis dan mengungkapkan
perasaan-perasaanku lewat menulis. Seseorang yang mengajarkanku untuk melakukan
hal itu adalah Mama. Dulu, waktu aku masih bersekolah di TK, Mama selalu
menanyakan bagaimana perasaanku setiap aku pulang sekolah. Lalu, biasanya Mama
akan menyuruhku menceritakan apa saja hal-hal menarik yang kualami hari itu,
baik itu senang ataupun sedih. Karena tulisanku pada saat itu belum bagus, dan
aku menulis juga masih belum lancar, Mamalah yang menuliskannya di sebuah notes kecil.
Memasuki
Sekolah Dasar (SD), aku pun mulai mengenal kalau dokter itu ada beberapa jenis.
Ada dokter umum, dokter mata, dokter gigi, dokter THT, dan beberapa dokter
lainnya. Namun, tentu saja anak kecil sepertiku belum mengenal dokter bedah,
dokter ahli syaraf, dan sebagainya, ya. Nah, sewaktu aku kelas 2 SD, aku
mempunyai keinginan untuk menjadi dokter anak. Menurutku dokter itu sangat
istimewa, selain menyembuhkan, ia juga biasanya ramah dan akrab dengan
anak-anak. (Kalau dokter yang lain membaca ini, jangan tersinggung ya. Namanya
juga pikiran anak-anak.)
Aku
selalu belajar dengan rajin. Meskipun pada kelas 5 dan 6 SD aku tidak pernah
mendapat lima besar lagi, setidaknya aku duduk di peringkat 6 dan 7. Nilai
ujian nasionalku juga terbilang bagus. Aku berhasil mendapatkan 8,8 untuk
rata-rata total. Nilai 9,0 untuk Bahasa Indonesia, 9,5 untuk Matematika, dan
8,75 untuk IPA. Meskipun IPA menjadi nilai yang paling rendah untuk nilai
UN-ku, aku masih berkeinginan kuat untuk menjadi dokter anak.
Ngomong-ngomong,
akibat kebiasaan bercerita dan menulis yang Mama tanamkan sejak kecil, aku jadi
suka menulis cerita. Awalnya, aku hanya suka menulis cerita dalam bentuk
curhatan-curhatan. Ya, semacam punya buku harian (diary) gitu deh. Selain itu, aku juga senang sekali apabila mendapat
tugas menceritakan kembali dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Suatu
hari di kelas 6 SD, aku pernah merasa sedih sekali. Namun, aku tidak ingin
orang-orang tahu apa yang sebenarnya membuatku sedih. Jadi, aku coba menuliskan
hal-hal yang membuatku sedih itu ke dalam sebuah cerita pendek. Kuubah semua
nama-nama orangnya menjadi nama-nama tokoh, dan jadilah cerpen tersebut.
Setelah kubaca lagi saat aku menduduki kelas 7 SMP, aku tidak menyangka bahwa
aku bisa membuat cerpen sebagus itu (untuk ukuran anak kelas 6 SD).
Nah,
karena nilai ujianku waktu Sekolah Dasar dulu bagus, dan aku melanjutkan
sekolah ke SMP yang memiliki sistem “kelas unggulan”, aku jadi masuk kelas
unggulan di SMP. Semenjak SMP juga, aku jadi tahu bahwa IPA dan IPS ternyata
mempunyai cabangnya lagi masing-masing. IPA mencakup Biologi, Fisika, dan
Kimia. Sedangkan, IPS mencakup Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi.
Dari
dulu, aku memang suka membaca cerita karena Papaku selalu membelikanku majalah
Bobo. Namun, di akhir kelas 6 SD, aku mulai membaca buku yang dikeluarkan oleh
Penerbit Mizan, yaitu Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Aku suka sekali membaca
buku itu, terlebih lagi tema-temanya mudah dicerna untuk anak-anak seumuranku
waktu itu. Akhirnya saat SMP, aku jadi tertarik untuk membeli buku sejenis itu
dan aku bawa ke sekolah. Ternyata, teman-teman di kelasku juga banyak yang hobi
membaca, bahkan di antara mereka ada yang punya banyak seri KKPK. Selain itu,
yang lebih mengejutkannya lagi, ada juga teman-temanku yang sudah membaca teenlit, yang harusnya menjadi bacaan
anak SMA. Tetapi, karena ceritanya asik dan seru, aku pinjam juga bukunya.
Hehe. Untungnya, teenlit pada zaman
itu masih memuat konten-konten yang masih “dalam batasan” dan tidak berbahaya
jika dibaca untuk anak seumuranku. Hehehe.
Karena
ceritanya seru, aku juga mulai membeli teenlit.
Pertama kali aku membeli teenlit
adalah ketika aku kelas 7 SMP semester 2. Teenlit
pertama yang kubeli judulnya, “Rival”, ditulis oleh Amalia.
Disebabkan
hobi membacaku itulah, aku juga selalu pergi ke perpustakaan pada jam
istirahat. Meski perpustakaan sekolahku yang sekarang isinya tak semenarik
perpustakaan di SD dulu, aku tetap mengunjunginya. Bahkan, aku menjadi anggota
di sana, di saat tidak ada siswa kelas 7 yang mendaftar. Aku memiliki kartu,
bisa meminjam buku, dan membawanya ke kelas. Teman-teman di kelas langsung
mengerubungiku dan bertanya bagaimana menjadi anggota perpustakaan. Ah, rasanya
senang sekali.
Kehidupan
sekolahku tidak selalu menyenangkan, terlebih ketika aku menduduki kelas unggulan.
Rata-rata nilai yang kami dapatkan di rapor masing-masing, bedanya sangat
tipis. Mungkin bedanya hanya koma, begitu kata wali kelas kami. Alhasil, itu
berpengaruh pada kehidupan akademikku. Aku yang semula selalu mendapat sepuluh
besar di SD, kini harus merasa cukup hanya dengan mendapat peringkat belasan.
Di
kelas delapan, aku berhasil memasuki kelas unggulan lagi. Namun, kelas unggulan
nyatanya semakin menekan peluangku untuk mendapat peringkat yang tinggi.
Memang, rata-rata nilai akhir yang kudapatkan lebih tinggi dari siswa yang
bukan berasal dari kelas unggulan, sekalipun mereka mendapatkan peringkat tiga
besar di kelasnya. Namun, orang tuaku yang belum paham akan hal itu, nyatanya
tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya bukan lagi “bintang” yang bisa
mereka banggakan. Aku pun selalu dimarahi setiap menerima rapor di tengah atau
akhir semester.
Hal ini
mengecewakanku dan orang tuaku. Bahkan, saat pertama kali aku mendapatkan
peringkat dua puluh besar, aku dimarahi habis-habisan. Mamaku berkata, aku
tidak akan bisa menjadi dokter kalau begini terus. Aku sangat sedih. Padahal,
cita-citaku dari kecil hingga saat itu hanyalah menjadi dokter anak, tak pernah
berubah.
Suatu
hari, Mamaku mengatakan padaku, “Kak, lebih baik kamu urungkan saja cita-citamu
untuk jadi dokter. Orang yang mau jadi dokter itu setidaknya tiga: kalau nggak
kaya, pintar. Kalo nggak dua-duanya, rajin. Kakak tau kita Mama dan Papa tidak
hidup mewah. Selain itu, kakak itu orangnya nggak pintar-pintar amat. Juga
nggak rajin-rajin amat. Jadi, mending dari sekarang Kakak cari cita-cita selain
dokter.”
Aku
berusaha untuk tidak mendengar kenyataan pahit bahwa Mamaku tidak mendukungku
lagi untuk menjadi dokter. Aku sangat sedih. Aku berusaha curhat pada salah
satu sahabatku, dan ia malah bilang, “Iya Lim. Jadi dokter itu mahal. Biaya
untuk beli mayat aja bisa 200 juta. Nggak tau kalo yang lain-lain lagi.” Aku
yang minim pengetahuan akan hal itu serta belum tahu apa-apa tentang
perkuliahan hanya bisa sedih dan gigit jari. Benar kata Mama, mungkin lebih
baik aku gugurkan saja cita-citaku untuk menjadi dokter.
Sejak
saat itu, aku mulai memikirkan apa cita-citaku selain menjadi dokter. Aku
sempat memikirkan mungkin lebih besar peluang untuk menjadi koki, tour guide, guru, atau psikolog. Aku juga
sempat ingin menjadi wartawan, hingga membuat obat seperti pharmacist. Sampai akhirnya, aku menemukan apa yang kucari selama
itu: penulis.
Iya,
memang untuk menjadi penulis, tidak butuh keahlian khusus. Menulis, seperti
kata banyak penulis terkenal, hanya butuh niat dan disiplin yang kuat. Sampai
akhirnya, aku mengenal NH Dini. Mungkin ini terlihat mustahil, tetapi aku yang
hobi membaca kutipan-kutipan cerpen dan novel di buku pelajaran Bahasa
Indonesia memang mengenalnya saat itu. Aku mulai mengenal NH Dini, saat aku
membaca salah satu kutipan novelnya yang berjudul, “Padang Ilalang di Belakang
Rumah”, yang saat itu menceritakan Dini dan saudara-saudaranya sedang membuat
kue bersama Ibunya. Cerita NH Dini yang sangat sederhana, justru menyentuh hatiku.
Dari sana, aku merasakan perasaan yang beda ketika aku membaca teenlit, KKPK, atau cerpen-cerpen di
Majalah Bobo. Selain itu, bahasanya juga berbeda. Bahasa yang kupelajari di
kutipan novel NH Dini saat itu cukup sulit kelihatannya bagi anak seumuranku.
Mungkin,
itulah awal aku mengenal sastra. Sejak saat itu, aku mulai mencari tahu tentang
sastra lebih dalam. Karena aku masih berumur 13 tahun saat itu, aku masih
berpikir bahwa Lexie Xu, Esti Kinasih, dan Dyan Nuranindya juga menulis sastra.
Bahkan, ketika SMP-ku memiliki ekskul Sastra pada saat aku duduk di kelas 8
semester 2, aku mengikutinya. Aku selalu setia untuk pergi ke perpustakaan
setiap hari Sabtu untuk belajar membuat sajak, gurindam dan lain-lain. Aku
tidak pernah merasa bosan, meski anggota ekskul Sastra hanya tiga orang. Sayangnya,
ekskul itu hanya bertahan untuk satu semester.
Aku
juga mengetahui bahwa Sastra Indonesia memiliki jurusan tersendiri di
perkuliahan. Sejak saat itu, aku bertekad untuk berkuliah di jurusan Sastra
Indonesia.
Awalnya,
seperti anak-anak seumuranku waktu itu, kampus-kampus yang diketahui paling
hanya UI. Atau ITB. Atau UGM. Aku sendiri tidak mengenal UGM waktu itu, jadilah
aku berniat untuk masuk Sastra Indonesia di UI. Tetapi setelah aku punya
keinginan bahwa aku ingin berkuliah di Bandung, aku perlahan-lahan mulai
melepaskan keinginanku untuk kuliah di UI.
Pilihan
untuk memasuki jurusan Sastra Indonesia, tidak mudah diterima oleh orang tuaku.
Apalagi Papa. Ia begitu berharap anaknya bisa masuk SMK jurusan Akuntansi.
Sedangkan Mama, menolak keinginanku untuk masuk sastra. Tetapi karena Mamaku
selalu melarangku untuk masuk jurusan-jurusan yang kuinginkan, akhirnya Mama
perlahan-lahan bisa menerima kenyataan itu. Papa masih sulit menerimanya hingga
aku lagi-lagi berhasil mendapatkan nilai tinggi di Ujian Nasional SMP dan
memilih SMAN 1 Batam sebagai SMA pilihanku.
Selain
masalah eksternal, aku juga pernah memiliki masalah dari dalam diriku sendiri.
Meski aku terlihat penuh yakin sedari dulu ketika aku akan memilih sastra,
tetap saja sebagai manusia, aku pernah ragu. Aku pernah ragu memilih antara
Sastra atau Psikologi di kelas 9, dan dengan beberapa saran dari teman-teman
dan kakak kelasku, serta keyakinan atas minatku sendiri, aku berusaha yakin di
Sastra.
Selain
Sastra, aku jelaskan di atas bahwa aku ingin berkuliah di Bandung. Berhubung
Mamaku orang Bandung dan Mamaku bukan sarjana (jadi dia hanya tahu beberapa
kampus saja), Mama bilang aku bisa berkuliah di Universitas Padjadjaran.
Keinginanku berkuliah di Bandung bukan sekadar hanya karena Mamaku berasal dari
sana, tetapi aku memang pernah tinggal di sana selama dua tahun dan selalu ada
perasaan untuk “kembali”.
Niat
untuk berkuliah di Sastra semakin kuat ketika aku lulus dari SMP. Aku memilih
SMA Negeri 1 dan melupakan SMA Negeri 3 (karena SMA 3 lebih dulu punya kelas
bahasa saat itu), karena SMA Negeri 1 digadang-gadang akan memiliki jurusan
Bahasa. Aku tentu senang sekali, karena SMA Negeri 3 letaknya sangat jauh dari
rumahku. Selain itu, transportasi untuk pergi ke sana juga sulit.
Sayangnya,
SMA Negeri 1 Batam tidak jadi membuka kelas Bahasa saat itu. Aku sangat sedih.
Aku, yang belum paham akan sistem perkuliahan dan seleksi masuk, berpikir bahwa
jurusan Sastra bisa dimasuki oleh anak IPA maupun IPS. Jadilah aku tetap
memilih IPA, meski aku tahu Sastra adalah impian jurusanku saat itu.
Selama
tiga tahun aku di IPA, perasaanku tetap tidak pindah. Malahan, sulitnya
pelajaran-pelajaran eksakta untuk masuk ke otakku membuat aku semakin
bersemangat untuk masuk Sastra. Aku juga berhasil mempertahankan nilai Bahasa
Indonesiaku yang selalu bagus dari SD. Malah, di SMA, nilai Bahasa Indonesiaku
hanya di bawah pelajaran Bahasa Jepang dan Agama yang mencapai nilai 90.
Di
kelas 11, saat aku mengetahui bahwa Universitas Padjadjaran tidak hanya di
Bandung pun, aku masih kuat menetapkan hatiku untuk kuliah di jurusan Sastra
Indonesia, Universitas Padjadjaran. Tidak berubah. Memang, beberapa jurusan
sempat menggoyahkan niatku, terutama Psikologi dan Ilmu Perpustakaan. Sastra
asing juga sempat menggodaku untuk berganti pilihan. Namun, setelah mencari
tahu lebih lanjut, aku tetap memilih Sastra Indonesia.
Aku
memilih Sastra Indonesia juga tidak seperti memilih kucing dalam karung.
Meskipun Sastra Indonesia bukan termasuk jurusan bergengsi di mata masyarakat
Indonesia, aku mengetahui masih banyak yang bisa kita dapatkan dari jurusan
Sastra Indonesia. Selain itu, keinginanku menjadi editor di sebuah penerbit
besar juga menguatkan niatku untuk memilih Sastra Indonesia (meski kini aku
tahu, menjadi editor bisa tidak hanya dari jurusan Sastra). Kebijakan bahwa
lulusan S1 selain jurusan keguruan yang bisa mengambil pendidikan profesi guru
dan menjadi guru pun, mengokohkan niatku untuk mengambil jurusan Sastra
Indonesia. Oleh sebab itu, Sastra Indonesia adalah pilihanku sejak lama, dan
aku tidak pernah menyesalinya.
Hmm,
ternyata panjang juga ceritaku, ya. Kalau begitu, aku sudahi dulu. Selanjutnya,
aku akan bercerita tentang bagaimana perjalananku untuk bisa masuk ke jurusan
Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran dan seperti apa jurusan Sastra
Indonesia itu. Ikuti terus, ya! Terima kasih, sudah membaca ceritaku yang
panjang ini!❤ ❤ ❤
Komentar
Posting Komentar
Sampaikanlah komentar yang baik dan membangun:) Jangan menyinggung SARA. Terima kasih atas komentarnya:)